Thursday, June 28, 2007

Iklan Layanan Filantropi Islam di Media Cetak Indonesia

Iklan-iklan ajakan berqurban, berzakat, dan melakukan aktivitas kedermawanan di media cetak telah lama menjadi perhatian publik. Iklan-iklan tersebut menyampaikan satu pesan yang pasti yang intinya selaras dengan ajakan untuk melakukan aktivitas filantropi. Istilah filantropi berasal dari bahasa Yunani philos yang berarti cinta, dan antropos yang berarti manusia. Bila dirangkai, filantropi berarti cinta manusia. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa kata filantropi merupakan satu istilah yang netral, berkaitan erat dengan nilai moral, dan tidak berkonotasi dengan agama tertentu mengingat semua agama pasti mengajarkan nilai-nilai filantropis. Dalam kerangka konsep agama Islam, nilai-nilai filantropi ini diperinci dalam berbagai aktivitas yaitu dengan qurban, zakat, infaq, sedekah, dan wakaf, serta aktivitas lain semisal hibah dan hadiah yang masing-masing memiliki pengertian khusus dan tertentu.

Istilah Iklan Layanan Filantropi sendiri merupakan istilah yang tidak baku. Sengaja istilah ini saya pakai sebagai penyangga sementara atas pertanyaan dalam benak yang belum terjawab. Pasalnya, dalam koridor Teori Periklanan, seperti yang dipaparkan Agus S. Madjadikara dalam bukunya “Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan”, istilah yang ada selama ini ada adalah ILM (Iklan Layanan Masyarakat) atau PSA (Public Service Advertisement). ILM ataupun PSA merupakan salah satu jenis iklan non-komersial disamping iklan komersial dan iklan korporat. Iklan komersial adalah iklan yang bertujuan mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa. Sedangkan iklan non-komersial banyak jenisnya, termasuk iklan orang hilang, lowongan kerja, duka cita, mencari istri atau suami, dan sebagainya. Adapun iklan layanan masyarakat biasanya merupakan kampanye social marketing yang bertujuan “menjual” gagasan atau idea untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat (public service) (Madjadikara : 2004, 17).

Masih menurut Madjadikara, biasanya pesan ILM ini berupa ajakan atau himbauan kepada masyarakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan demi kepentingan umum atau mengubah suatu kebiasaan atau perilaku masyarakat “yang tidak baik” supaya menjadi lebih baik, misalnya masalah pembuangan sampah, mendorong minat baca, berlalu-lintas dengan tertib, keluarga berencana, berhenti merokok, menghindari AIDS, “Say NO to drugs” dan sebagainya. Siapapun bisa saja melancarkan kampanye iklan layanan masyarakat ini : badan-badan pemerintah, perusahaan-perusahaan, swasta maupun pemerintah, asosiasi atau ikatan orang-orang seprofesi, LSM, dan sebagainya. Biasanya pesan ILM ada sponsornya, dan diembel-embeli logo, slogan, atau bahkan nama sponsornya.

Iklan korporat, merupakan iklan yang bertujuan membangun citra (image) suatu perusahaan yang pada akhirnya tentu diharapkan juga membangun citra positif produk-produk atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Iklan korporat ini idealnya dilakukan simultan bersama aksi Public Relation.

Iklan layanan filantropi Islam termasuk fenomena baru di dunia periklanan di Indonesia. Sangat unik karena iklan jenis ini dapat dikategorikan iklan komersial sekaligus jenis non-komersial. Terus terang, advertising agency yang menangani jenis-jenis iklan filantropi ini tidak banyak. Selama ini Lembaga Amil Zakat (LAZ) ataupun Badan Amil Zakat (BAZ) yang tersebar diseluruh Indonesia sedikit sekali yang memanfaatkan jasa advertising agency untuk kampanye program-program kerjanya. Mereka lebih tertarik untuk membuat sendiri iklan-iklan filantropi mereka sendiri walaupun pada akhirnya anggaran beriklan yang dikeluarkan justru lebih banyak, dengan tingkat efektifitas yang kurang maksimal. Bagi sebuah agency, memotret sebuah program menjadi sebuah insight (kedalaman produk/ program) yang jitu dan tepat bukan perkara mudah. Memutuskan What to Say (apa yang ingin disampaikan) sebuah iklan filantrop juga bukan masalah sederhana. Termasuk menetapkan How to Say (bagaimana cara menyampaikannya) yang pas dengan elemen, simbol, ataupun tipografi yang mampu mendukung pesan adalah hal terakhir yang menjadi penentu apakah iklan filantropi tersebut sudah sesuai dengan konteks kultur masyarakat atau belum. Membutuhkan kerjasama yang sangat serius antara advertising agency dengan pelaku program (baca: klien).

Dari kasus yang sering saya tangani bersama dengan tim kreatif Syafa’at Advertising - sebuah agency kecil yang lahir di Yogyakarta - barangkali bisa dikatakan bahwa dalam satu konsep creative campaign program tertentu, 65%nya berisi kejujuran klien dalam penguasaan produknya yaitu berupa program-programnya. Selebihnya menjadi tugas tim kreatif untuk menguasai program tersebut, menggali data dan menganalisis secara kuat. Mengapa saya menyebutkan porsi terbanyak adalah peran besar klien dalam keberhasilan iklan filantropi? Karena hal tersulit dalam penggalian pesan verbal maupun visual dalam iklan jenis ini terletak pada keberhasilannya dalam penguasaan program yang dijalani. Misal Program Zakat Ramadhan 1427 H, tentu klien yang bersangkutan memahami dulu apa itu zakat, fiqh-fiqh (aturan hukum Islam) yang ada dibaliknya serta keutamaan Bulan Ramadhan. Kemampuan klien untuk menjelaskan dengan baik kepada advertising agency akan mempersempit tingkat kesalahpahaman dan menghindari ambiguitas dalam iklan. Dari situ advertising agency akan lebih mudah menerjemahkan keinginan klien dan mempelajari program tersebut agar lebih “dalam”. Ketika seluruh proses dalam iklan filantropi berjalan dengan baik, niscaya karya yang dihasilkan mampu membawa LAZ atau BAZ yang beriklan mendapatkan benefit (keuntungan) di dua kategori dalam satu iklan. Yaitu iklan komersial produk dan kedua, iklan layanan masyarakat.

Inilah yang menyebabkan saya merasa perlu untuk mengkategorisasikan jenis ini dalam nama tersendiri yaitu sebagai Iklan Layanan Filantropi Islam (ILFI). Tujuan iklan yang digunakan untuk mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa (misalnya : produk berupa kambing qurban, tabung wakaf, jasa penyembelihan dan pendistribusian kambing qurban, pendirian sarana-sarana bagi kaum dhuafa dan anak yatim, dan sebagainya) menjadikan iklan jenis ini patut masuk dalam kategori iklan komersial, apalagi sebagai pelaksana adalah suatu lembaga tertentu semisal Dompet Dhuafa Republika atau Baznas, lengkap didukung sponsor dari lembaga-lembaga komersial. Pada saat yang bersamaan, tujuan iklan yang berisi ajakan kepada masyarakat untuk melakukan kebaikan – bahkan kebaikan menurut agama – menjadikan iklan jenis ini dapat dikategorikan sebagai iklan ILM.

Sebagai contoh berikut ini beberapa capaian karya Syafa’at Advertising yang masuk finalis dan beberapa diantaranya mendapatkan trophy dalam ajang Pinasthika Advertising Festival (suatu ajang pemberian penghargaan bagi karya dan insan periklanan se- Indonesia yang telah diselenggarakan PPPI Yogyakarta sejak tahun 2002) maupun contoh iklan kategori filantropi yang lainnya yang tidak diikutsertakan dalam lomba.
Program Ramadhan 1425 H klien: Baznas

Program Tebar Hewan Kurban 1426 H klien: Tebar Hewan Kurban


KEMUNCULAN IKLAN LAYANAN FILANTROPI DI INDONESIA

Filantropi bukanlah perkara baru dalam kultur masyarakat Indonesia yang bercorak komunalistik dan sosialistik yang didasari prinsip solidaritas, sesuai pendapat Marcel Mauss dalam bukunya The Gift (Suparlan : 1992, xxiii). Lebih jauh Mauss menyatakan bahwa solidaritas merupakan perwujudan dari mekanisme yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dan bukan dari individu.

Lebih dari itu, Mauss memperlihatkan bahwa ada pemberian yang tidak menuntut diberikannya imbalan atau pengembalian oleh si penerima. Contoh dari pemberian seperti ini adalah sedekah, yang ada dalam ajaran agama Kristiani dan Islam. Kalau diperhatikan lebih lanjut, akan tampak bahwa sedekah adalah sebuah unsur dari sistem yang lebih luas yang memperlihatkan adanya hubungan diantara si pemberi dengan unsur ketiga, yaitu Tuhan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada si pemberi maupun si penerima, yang akan memberikan pahala kepada si pemberi. Sedekah juga mencerminkan isi ajaran agama yang memperlihatkan bahwa manusia, yaitu si pemberi dan si penerima sedekah mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Maknanya tercermin dari ajaran yang menekankan pentingnya pemberian sedekah kepada yang kekurangan sehingga jenjang sosial yang ada diantara si pemberi yang berlebih dengan penerima sedekah yang kekurangan dapat diperkecil jaraknya. Dari sinilah mulanya filantropi berawal.

Dewasa ini filantropi juga dikembangkan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility. Jadi dapat dilihat bahwa perusahaan itu tidak hanya bertanggung jawab pada pemegang saham perusahaan saja atau shareholder tetapi bertanggungjawab juga pada masyarakat sekelilingnya maupun masyarakat luas atau yang disebut stakeholder.

Selanjutnya dikembangkan pula bagaimana filantropi bisa beralih dari pemberian charity, menjadi pemberian yang lebih memberdayakan serta berjangka panjang. Untuk menyambungkan antara pihak yang memberi dengan yang menerima, maka lahirlah organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang secara khusus menangani filantropi.

Perkembangan organisasi filantropi yang demikian berkembang menuntut adanya tata kelola filantropi yang baik. Karena setiap dermawan ingin mengetahui sampai di mana dampak tindakan kedermawanannya, maka kemudian mulai ada sekelompok orang yang secara profesional memikirkan bagaimana mengelola, memantau dan melaporkan kembali. Dalam rangkaian profesionalisme inilah, media dan teknologi sangat berperan penting sebagai sarana pendukungnya.

Konsekuensi logis dari tata kelola filantropi profesional salah satunya adalah dengan mengembangkan sistem promosi yang baik, yang sifatnya integrated marketing communication (komunikasi pemasaran terpadu) yang menuntut kemampuan dalam mengkomunikasikan dan memasarkan kegiatan filantropi yang nirlaba dengan perlakuan layaknya komoditas ekonomis labawi. Tuntutan ini membawa konsekuensi logis bagi pengelola filantropi untuk menyajikan komunikasi pemasarannya tidak saja secara efektif, sekaligus edukatif dan persuasif akan tetapi merambah pada aspek estetis yang utamanya didukung oleh tata desain grafis yang konseptual dan menarik. Dalam hal ini, beberapa lembaga filantropi yang memang tidak memiliki kapabilitas dalam penciptaan estetis, mulai bekerja sama dengan advertising atau lembaga-lembaga komunikasi pemasaran. Maka dari sinilah mulanya, iklan-iklan layanan filantropi muncul dalam kancah dunia periklanan di Indonesia.

TINJAUAN SINGKAT IKLAN-IKLAN FILANTROPI ISLAM DI MEDIA CETAK

Dalam wacana Posmedia, perbincangan yang terjadi selalu terkait dengan kepentingan yang ada di balik media tersebut, khususnya kepentingan terhadap informasi yang disampaikannya. Paling tidak, dalam perkembangan media mutakhir ada dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest), yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Diantara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih dasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang publik (publicsphere), disebabkan oleh kpentingan-kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri (Piliang : 2004, 133).

Iklan layanan filantropi dalam media cetak bisa jadi luput dari kepentingan ekonomi komersial dan kepentingan politik, tetapi lebih jauh justru membentuk ideologinya sendiri. Ideologi yang berpihak pada kaum dhuafa yang sungguh sangat erat dengan kepentingan ekonomi, akan tetapi ekonomi yang memberdayakan secara non komersial.

Meneropong Iklan Layanan Filantropi Islam dalam kacamata teori periklanan, memperlihatkan bahwa pada dasarnya ILFI disajikan tidak jauh berbeda dengan cara-cara penyajian ILM ataupun iklan-iklan komersial. Lihat saja bagaimana kaidah-kaidah komunikasi visual dan tatarupa-desain yang digunakan sama saja dengan iklan-iklan pada jenis lain. Perkara fundamental yang membedakannya barangkali ada pada :

Pertama, standar kepantasan visual yang digunakan tidak hanya mengindahkan nilai norma dan moral, tetapi lebih spesifik lagi menggunakan batasan-batasan agama sebagai acuan, baik dalam tata visual maupun teks-nya. Untuk itu , mari kita bandimgkan 2 iklan berikut (Gbr.2 dan Gbr 3) :

gambar 2

gambar 3

Dua buah ILM dari Amerika Latin di atas, memperlihatkan seorang pria dan seorang wanita dengan paru-paru terbakar akibat merokok. Dibandingkan ILFI yang ada di bawahnya, tampak nyata adanya ideologi yang bekerja mengenai standar pantas dan kurang pantas. ILM mengenai bahaya merokok yang lahir dalam konteks budaya barat, tentunya sangat liberal dibanding iklan-iklan yang muncul di negara seperti Indonesia, apalagi representasi visual dalam Iklan-iklan LFI yang notabene membawa citra Islam dalam visualisasinya.

Kedua, tujuan utama Iklan Layanan Filantropi Islam fokus pada penggalangan dana masyarakat (fundraising) sebanyak-banyaknya dan menyalurkan dana tersebut kepada kaum dhuafa (lemah) yang berhak, sebanyak-banyaknya. Mekanisme ini mirip sekaligus berkebalikan dengan prinsip ekonomi : ”pengeluaran/ modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya”.

Dua karya iklan di atas memperlihatkan betapa penggalangan dana dari masyarakat merupakan ruh/ spirit filantropi.

Ketiga, dua point di atas membawa konsekuensi logis pada keharusan bagi lembaga pengelola filantropi yang berperan sebagai merk/ brand lembaga nirlaba untuk memiliki citra positif sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat.

Disamping tiga point di atas, ide kreatif, komunikasi, dan eksekusi/ tata desain grafis yang baik, penting menjadi patokan dalam menghasilkan karya yang berkualitas secara estetis. Yang dimaksud dengan ide kreatif adalah sebuah pendekatan secara konseptual yang jarang/ unik, atau berbeda dengan yang biasa disampaikan oleh orang lain. Agar pesan tersebut mampu tersampaikan dengan baik, unsur komunikasi sangatlah diperlukan. Kemudian yang terakhir adalah eksekusi atau tata desain yang baik. Ini hanya mampu terwujud apabila mengandung prinsip-prinsip dasar tata rupa seperti keselarasan (irama), dominansi, keseimbangan, kesatuan, dan proporsi. Dengan perpaduan prinsip-prinsip ini sebuah karya iklan akan mampu berdaya komunikasi visual secara efektif. Lebih jauh lagi, tata desain grafis yang baik juga terbukti mampu mendongkrak pencitraan. Satu hal yang menjadi begitu penting bagi masyarakat modern.

PENUTUP

Ketika krisis ekonomi dan bencana alam tak henti-hentinya mendera negeri ini, sementara kebijakan pemerintah juga tampaknya belum terlalu signifikan untuk mengentaskan rakyat Indonesia dari keterpurukan, maka memang selayaknya apabila potensi dana filantropi ini dikembangkan dan digarap dengan lebih serius dalam segala sisinya. Potensi umat Islam yang demikian besar dan menjadi mayoritas di negeri ini, tentu sangatlah dahsyat apabila dibangkitkan dan dikelola dengan bersih, amanah dan transparan.

Menjadi tantangan bagi lembaga pengelola filantropi beserta advertising dan lembaga-lembaga komunikasi pemasarannya untuk mampu memanfaatkan teknologi demi mewujudkan desain-desain grafis yang dapat memvisualisasikan citra atau simbol yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat modern. Satu tantangan yang menarik karena yang dikomunikasikan adalah suatu komoditas yang tidak dilandasi alasan ekonomis tetapi karena alasan agama, bahkan alasan keimanan yang sifatnya nirlaba.


DAFTAR PUSTAKA

Ekeh, Peter P.1974 Social Exchange Theory,. London: Heinemann

Ibrahim, Idy Subandi dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.)1997 Hegemoni Budaya, Yogyakarta: Bentang.

Suparlan, Parsudi.1992 ”Kata Pengantar” dalam Pemberian, bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno (Marcel Mauss). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Witoelar, Erna.2005 ”Tata Kelola Filantropi”, Ramadahan Magazine, Dompet Dhuafa Republika: Jakarta.

Madjadikara, Agus. S.2004 Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Stokes, Jane 2003 How To Do Media and Cultural Studies. Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, (terj.) Bentang : Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir.2004 Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika,Jalasutra:Yogyakarta.

MAJALAH

2006 “Bos-bos Filantropi”, SWA, No.07/XXII/ 6-19 April.

Witoelar, Erna.2005 ”Tata Kelola Filantropi”, Ramadhan Magazine, Dompet Dhuafa Republika: Jakarta.2007 ”Ayo Berderma!”, Tabloid Republika Dialog Jumat, Jumat 12 Januari.

(tulisan ini didedikasikan untuk buku Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta yang akan terbit... semoga sukses!)

Labels:

2 Comments:

Blogger Rahadian P. Paramita said...

menarik. pada akhirnya tidak bisa menafikan peran teknologi, dalam kerangka religius sekalipun.

6:56 AM  
Blogger andika dwijatmiko said...

benar... teknologi akan menjadi alat yang baik, ditangan dan pikiran orang yang baik pula, bukan sebaliknya! harapannya begitu.
terimakasih komentarnya...

12:22 AM  

Post a Comment

<< Home