Thursday, June 28, 2007

Iklan Layanan Filantropi Islam di Media Cetak Indonesia

Iklan-iklan ajakan berqurban, berzakat, dan melakukan aktivitas kedermawanan di media cetak telah lama menjadi perhatian publik. Iklan-iklan tersebut menyampaikan satu pesan yang pasti yang intinya selaras dengan ajakan untuk melakukan aktivitas filantropi. Istilah filantropi berasal dari bahasa Yunani philos yang berarti cinta, dan antropos yang berarti manusia. Bila dirangkai, filantropi berarti cinta manusia. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa kata filantropi merupakan satu istilah yang netral, berkaitan erat dengan nilai moral, dan tidak berkonotasi dengan agama tertentu mengingat semua agama pasti mengajarkan nilai-nilai filantropis. Dalam kerangka konsep agama Islam, nilai-nilai filantropi ini diperinci dalam berbagai aktivitas yaitu dengan qurban, zakat, infaq, sedekah, dan wakaf, serta aktivitas lain semisal hibah dan hadiah yang masing-masing memiliki pengertian khusus dan tertentu.

Istilah Iklan Layanan Filantropi sendiri merupakan istilah yang tidak baku. Sengaja istilah ini saya pakai sebagai penyangga sementara atas pertanyaan dalam benak yang belum terjawab. Pasalnya, dalam koridor Teori Periklanan, seperti yang dipaparkan Agus S. Madjadikara dalam bukunya “Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan”, istilah yang ada selama ini ada adalah ILM (Iklan Layanan Masyarakat) atau PSA (Public Service Advertisement). ILM ataupun PSA merupakan salah satu jenis iklan non-komersial disamping iklan komersial dan iklan korporat. Iklan komersial adalah iklan yang bertujuan mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa. Sedangkan iklan non-komersial banyak jenisnya, termasuk iklan orang hilang, lowongan kerja, duka cita, mencari istri atau suami, dan sebagainya. Adapun iklan layanan masyarakat biasanya merupakan kampanye social marketing yang bertujuan “menjual” gagasan atau idea untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat (public service) (Madjadikara : 2004, 17).

Masih menurut Madjadikara, biasanya pesan ILM ini berupa ajakan atau himbauan kepada masyarakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan demi kepentingan umum atau mengubah suatu kebiasaan atau perilaku masyarakat “yang tidak baik” supaya menjadi lebih baik, misalnya masalah pembuangan sampah, mendorong minat baca, berlalu-lintas dengan tertib, keluarga berencana, berhenti merokok, menghindari AIDS, “Say NO to drugs” dan sebagainya. Siapapun bisa saja melancarkan kampanye iklan layanan masyarakat ini : badan-badan pemerintah, perusahaan-perusahaan, swasta maupun pemerintah, asosiasi atau ikatan orang-orang seprofesi, LSM, dan sebagainya. Biasanya pesan ILM ada sponsornya, dan diembel-embeli logo, slogan, atau bahkan nama sponsornya.

Iklan korporat, merupakan iklan yang bertujuan membangun citra (image) suatu perusahaan yang pada akhirnya tentu diharapkan juga membangun citra positif produk-produk atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Iklan korporat ini idealnya dilakukan simultan bersama aksi Public Relation.

Iklan layanan filantropi Islam termasuk fenomena baru di dunia periklanan di Indonesia. Sangat unik karena iklan jenis ini dapat dikategorikan iklan komersial sekaligus jenis non-komersial. Terus terang, advertising agency yang menangani jenis-jenis iklan filantropi ini tidak banyak. Selama ini Lembaga Amil Zakat (LAZ) ataupun Badan Amil Zakat (BAZ) yang tersebar diseluruh Indonesia sedikit sekali yang memanfaatkan jasa advertising agency untuk kampanye program-program kerjanya. Mereka lebih tertarik untuk membuat sendiri iklan-iklan filantropi mereka sendiri walaupun pada akhirnya anggaran beriklan yang dikeluarkan justru lebih banyak, dengan tingkat efektifitas yang kurang maksimal. Bagi sebuah agency, memotret sebuah program menjadi sebuah insight (kedalaman produk/ program) yang jitu dan tepat bukan perkara mudah. Memutuskan What to Say (apa yang ingin disampaikan) sebuah iklan filantrop juga bukan masalah sederhana. Termasuk menetapkan How to Say (bagaimana cara menyampaikannya) yang pas dengan elemen, simbol, ataupun tipografi yang mampu mendukung pesan adalah hal terakhir yang menjadi penentu apakah iklan filantropi tersebut sudah sesuai dengan konteks kultur masyarakat atau belum. Membutuhkan kerjasama yang sangat serius antara advertising agency dengan pelaku program (baca: klien).

Dari kasus yang sering saya tangani bersama dengan tim kreatif Syafa’at Advertising - sebuah agency kecil yang lahir di Yogyakarta - barangkali bisa dikatakan bahwa dalam satu konsep creative campaign program tertentu, 65%nya berisi kejujuran klien dalam penguasaan produknya yaitu berupa program-programnya. Selebihnya menjadi tugas tim kreatif untuk menguasai program tersebut, menggali data dan menganalisis secara kuat. Mengapa saya menyebutkan porsi terbanyak adalah peran besar klien dalam keberhasilan iklan filantropi? Karena hal tersulit dalam penggalian pesan verbal maupun visual dalam iklan jenis ini terletak pada keberhasilannya dalam penguasaan program yang dijalani. Misal Program Zakat Ramadhan 1427 H, tentu klien yang bersangkutan memahami dulu apa itu zakat, fiqh-fiqh (aturan hukum Islam) yang ada dibaliknya serta keutamaan Bulan Ramadhan. Kemampuan klien untuk menjelaskan dengan baik kepada advertising agency akan mempersempit tingkat kesalahpahaman dan menghindari ambiguitas dalam iklan. Dari situ advertising agency akan lebih mudah menerjemahkan keinginan klien dan mempelajari program tersebut agar lebih “dalam”. Ketika seluruh proses dalam iklan filantropi berjalan dengan baik, niscaya karya yang dihasilkan mampu membawa LAZ atau BAZ yang beriklan mendapatkan benefit (keuntungan) di dua kategori dalam satu iklan. Yaitu iklan komersial produk dan kedua, iklan layanan masyarakat.

Inilah yang menyebabkan saya merasa perlu untuk mengkategorisasikan jenis ini dalam nama tersendiri yaitu sebagai Iklan Layanan Filantropi Islam (ILFI). Tujuan iklan yang digunakan untuk mendukung kampanye pemasaran suatu produk atau jasa (misalnya : produk berupa kambing qurban, tabung wakaf, jasa penyembelihan dan pendistribusian kambing qurban, pendirian sarana-sarana bagi kaum dhuafa dan anak yatim, dan sebagainya) menjadikan iklan jenis ini patut masuk dalam kategori iklan komersial, apalagi sebagai pelaksana adalah suatu lembaga tertentu semisal Dompet Dhuafa Republika atau Baznas, lengkap didukung sponsor dari lembaga-lembaga komersial. Pada saat yang bersamaan, tujuan iklan yang berisi ajakan kepada masyarakat untuk melakukan kebaikan – bahkan kebaikan menurut agama – menjadikan iklan jenis ini dapat dikategorikan sebagai iklan ILM.

Sebagai contoh berikut ini beberapa capaian karya Syafa’at Advertising yang masuk finalis dan beberapa diantaranya mendapatkan trophy dalam ajang Pinasthika Advertising Festival (suatu ajang pemberian penghargaan bagi karya dan insan periklanan se- Indonesia yang telah diselenggarakan PPPI Yogyakarta sejak tahun 2002) maupun contoh iklan kategori filantropi yang lainnya yang tidak diikutsertakan dalam lomba.
Program Ramadhan 1425 H klien: Baznas

Program Tebar Hewan Kurban 1426 H klien: Tebar Hewan Kurban


KEMUNCULAN IKLAN LAYANAN FILANTROPI DI INDONESIA

Filantropi bukanlah perkara baru dalam kultur masyarakat Indonesia yang bercorak komunalistik dan sosialistik yang didasari prinsip solidaritas, sesuai pendapat Marcel Mauss dalam bukunya The Gift (Suparlan : 1992, xxiii). Lebih jauh Mauss menyatakan bahwa solidaritas merupakan perwujudan dari mekanisme yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dan bukan dari individu.

Lebih dari itu, Mauss memperlihatkan bahwa ada pemberian yang tidak menuntut diberikannya imbalan atau pengembalian oleh si penerima. Contoh dari pemberian seperti ini adalah sedekah, yang ada dalam ajaran agama Kristiani dan Islam. Kalau diperhatikan lebih lanjut, akan tampak bahwa sedekah adalah sebuah unsur dari sistem yang lebih luas yang memperlihatkan adanya hubungan diantara si pemberi dengan unsur ketiga, yaitu Tuhan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada si pemberi maupun si penerima, yang akan memberikan pahala kepada si pemberi. Sedekah juga mencerminkan isi ajaran agama yang memperlihatkan bahwa manusia, yaitu si pemberi dan si penerima sedekah mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Maknanya tercermin dari ajaran yang menekankan pentingnya pemberian sedekah kepada yang kekurangan sehingga jenjang sosial yang ada diantara si pemberi yang berlebih dengan penerima sedekah yang kekurangan dapat diperkecil jaraknya. Dari sinilah mulanya filantropi berawal.

Dewasa ini filantropi juga dikembangkan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility. Jadi dapat dilihat bahwa perusahaan itu tidak hanya bertanggung jawab pada pemegang saham perusahaan saja atau shareholder tetapi bertanggungjawab juga pada masyarakat sekelilingnya maupun masyarakat luas atau yang disebut stakeholder.

Selanjutnya dikembangkan pula bagaimana filantropi bisa beralih dari pemberian charity, menjadi pemberian yang lebih memberdayakan serta berjangka panjang. Untuk menyambungkan antara pihak yang memberi dengan yang menerima, maka lahirlah organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang secara khusus menangani filantropi.

Perkembangan organisasi filantropi yang demikian berkembang menuntut adanya tata kelola filantropi yang baik. Karena setiap dermawan ingin mengetahui sampai di mana dampak tindakan kedermawanannya, maka kemudian mulai ada sekelompok orang yang secara profesional memikirkan bagaimana mengelola, memantau dan melaporkan kembali. Dalam rangkaian profesionalisme inilah, media dan teknologi sangat berperan penting sebagai sarana pendukungnya.

Konsekuensi logis dari tata kelola filantropi profesional salah satunya adalah dengan mengembangkan sistem promosi yang baik, yang sifatnya integrated marketing communication (komunikasi pemasaran terpadu) yang menuntut kemampuan dalam mengkomunikasikan dan memasarkan kegiatan filantropi yang nirlaba dengan perlakuan layaknya komoditas ekonomis labawi. Tuntutan ini membawa konsekuensi logis bagi pengelola filantropi untuk menyajikan komunikasi pemasarannya tidak saja secara efektif, sekaligus edukatif dan persuasif akan tetapi merambah pada aspek estetis yang utamanya didukung oleh tata desain grafis yang konseptual dan menarik. Dalam hal ini, beberapa lembaga filantropi yang memang tidak memiliki kapabilitas dalam penciptaan estetis, mulai bekerja sama dengan advertising atau lembaga-lembaga komunikasi pemasaran. Maka dari sinilah mulanya, iklan-iklan layanan filantropi muncul dalam kancah dunia periklanan di Indonesia.

TINJAUAN SINGKAT IKLAN-IKLAN FILANTROPI ISLAM DI MEDIA CETAK

Dalam wacana Posmedia, perbincangan yang terjadi selalu terkait dengan kepentingan yang ada di balik media tersebut, khususnya kepentingan terhadap informasi yang disampaikannya. Paling tidak, dalam perkembangan media mutakhir ada dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest), yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Diantara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih dasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang publik (publicsphere), disebabkan oleh kpentingan-kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri (Piliang : 2004, 133).

Iklan layanan filantropi dalam media cetak bisa jadi luput dari kepentingan ekonomi komersial dan kepentingan politik, tetapi lebih jauh justru membentuk ideologinya sendiri. Ideologi yang berpihak pada kaum dhuafa yang sungguh sangat erat dengan kepentingan ekonomi, akan tetapi ekonomi yang memberdayakan secara non komersial.

Meneropong Iklan Layanan Filantropi Islam dalam kacamata teori periklanan, memperlihatkan bahwa pada dasarnya ILFI disajikan tidak jauh berbeda dengan cara-cara penyajian ILM ataupun iklan-iklan komersial. Lihat saja bagaimana kaidah-kaidah komunikasi visual dan tatarupa-desain yang digunakan sama saja dengan iklan-iklan pada jenis lain. Perkara fundamental yang membedakannya barangkali ada pada :

Pertama, standar kepantasan visual yang digunakan tidak hanya mengindahkan nilai norma dan moral, tetapi lebih spesifik lagi menggunakan batasan-batasan agama sebagai acuan, baik dalam tata visual maupun teks-nya. Untuk itu , mari kita bandimgkan 2 iklan berikut (Gbr.2 dan Gbr 3) :

gambar 2

gambar 3

Dua buah ILM dari Amerika Latin di atas, memperlihatkan seorang pria dan seorang wanita dengan paru-paru terbakar akibat merokok. Dibandingkan ILFI yang ada di bawahnya, tampak nyata adanya ideologi yang bekerja mengenai standar pantas dan kurang pantas. ILM mengenai bahaya merokok yang lahir dalam konteks budaya barat, tentunya sangat liberal dibanding iklan-iklan yang muncul di negara seperti Indonesia, apalagi representasi visual dalam Iklan-iklan LFI yang notabene membawa citra Islam dalam visualisasinya.

Kedua, tujuan utama Iklan Layanan Filantropi Islam fokus pada penggalangan dana masyarakat (fundraising) sebanyak-banyaknya dan menyalurkan dana tersebut kepada kaum dhuafa (lemah) yang berhak, sebanyak-banyaknya. Mekanisme ini mirip sekaligus berkebalikan dengan prinsip ekonomi : ”pengeluaran/ modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya”.

Dua karya iklan di atas memperlihatkan betapa penggalangan dana dari masyarakat merupakan ruh/ spirit filantropi.

Ketiga, dua point di atas membawa konsekuensi logis pada keharusan bagi lembaga pengelola filantropi yang berperan sebagai merk/ brand lembaga nirlaba untuk memiliki citra positif sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat.

Disamping tiga point di atas, ide kreatif, komunikasi, dan eksekusi/ tata desain grafis yang baik, penting menjadi patokan dalam menghasilkan karya yang berkualitas secara estetis. Yang dimaksud dengan ide kreatif adalah sebuah pendekatan secara konseptual yang jarang/ unik, atau berbeda dengan yang biasa disampaikan oleh orang lain. Agar pesan tersebut mampu tersampaikan dengan baik, unsur komunikasi sangatlah diperlukan. Kemudian yang terakhir adalah eksekusi atau tata desain yang baik. Ini hanya mampu terwujud apabila mengandung prinsip-prinsip dasar tata rupa seperti keselarasan (irama), dominansi, keseimbangan, kesatuan, dan proporsi. Dengan perpaduan prinsip-prinsip ini sebuah karya iklan akan mampu berdaya komunikasi visual secara efektif. Lebih jauh lagi, tata desain grafis yang baik juga terbukti mampu mendongkrak pencitraan. Satu hal yang menjadi begitu penting bagi masyarakat modern.

PENUTUP

Ketika krisis ekonomi dan bencana alam tak henti-hentinya mendera negeri ini, sementara kebijakan pemerintah juga tampaknya belum terlalu signifikan untuk mengentaskan rakyat Indonesia dari keterpurukan, maka memang selayaknya apabila potensi dana filantropi ini dikembangkan dan digarap dengan lebih serius dalam segala sisinya. Potensi umat Islam yang demikian besar dan menjadi mayoritas di negeri ini, tentu sangatlah dahsyat apabila dibangkitkan dan dikelola dengan bersih, amanah dan transparan.

Menjadi tantangan bagi lembaga pengelola filantropi beserta advertising dan lembaga-lembaga komunikasi pemasarannya untuk mampu memanfaatkan teknologi demi mewujudkan desain-desain grafis yang dapat memvisualisasikan citra atau simbol yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat modern. Satu tantangan yang menarik karena yang dikomunikasikan adalah suatu komoditas yang tidak dilandasi alasan ekonomis tetapi karena alasan agama, bahkan alasan keimanan yang sifatnya nirlaba.


DAFTAR PUSTAKA

Ekeh, Peter P.1974 Social Exchange Theory,. London: Heinemann

Ibrahim, Idy Subandi dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.)1997 Hegemoni Budaya, Yogyakarta: Bentang.

Suparlan, Parsudi.1992 ”Kata Pengantar” dalam Pemberian, bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno (Marcel Mauss). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Witoelar, Erna.2005 ”Tata Kelola Filantropi”, Ramadahan Magazine, Dompet Dhuafa Republika: Jakarta.

Madjadikara, Agus. S.2004 Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Stokes, Jane 2003 How To Do Media and Cultural Studies. Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, (terj.) Bentang : Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir.2004 Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika,Jalasutra:Yogyakarta.

MAJALAH

2006 “Bos-bos Filantropi”, SWA, No.07/XXII/ 6-19 April.

Witoelar, Erna.2005 ”Tata Kelola Filantropi”, Ramadhan Magazine, Dompet Dhuafa Republika: Jakarta.2007 ”Ayo Berderma!”, Tabloid Republika Dialog Jumat, Jumat 12 Januari.

(tulisan ini didedikasikan untuk buku Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta yang akan terbit... semoga sukses!)

Labels:

Monday, June 25, 2007

"Jangan mengerjakan sesuatu karena ingin mengubah nasib… karena kelak kita tidak akan menjadi diri sendiri.
Tapi… lakukan pekerjaan dihadapanmu dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati… maka nasibmu akan berubah dengan sendirinya".

- Anonim -

Labels:

Monday, June 18, 2007

Advertising Syariah

Menjamurnya lembaga, bank, dan perusahaan syariah dewasa ini menuntut adanya advertising agency yang kapabel dan mampu menjawab tantangan serta memberikan problem solving yang mendalam terhadap brand syariah yang ada. Munculnya Advertising syariah ibaratnya merupakan suatu oase di tengah gurun pasir yang gersang. Oleh karenanya brand development syariah tentu membutuhkan jurus-jurus jitu agar produk syariah mereka bisa sampai di benak konsumen dengan baik.

Ada dua hal yang melandasi munculnya advertising syariah di Indonesia (walaupun jumlah advertising ini masih sedikit). Ada yang sekedar reaksi sporadis terhadap kemunculan brand syariah yang ada, tetapi ada pula yang lebih dari itu, yaitu dengan idealisme tertentu sebagai bagian dari keyakinan bahwa syariah merupakan way of life bagi seorang muslim sehingga layak untuk disebarluaskan serta keyakinan untuk menjadikan islam sebagai rahmatan lil aalamiin (rahmat bagi seluruh alam). Selain alasan-alasan di atas, lahirnya advertising syariah juga menjadi partner yang serasi bagi brand-brand syariah karena agency-nya mengambil peranan spesialis menangani problem-problem syariah.

Beberapa jawaban terhadap pertanyaan “apa itu advertising syariah?” akan disampaikan dalam informasi berikut melalui pendekatan 5w+1h.

What

Advertising syariah (dari output pekerjaannya) adalah aktifitas untuk membantu penjualan baik barang ataupun jasa dengan bahasa verbal maupun visual dengan tujuan konsumen terbujuk untuk membeli ataupun mempergunakan jasa yang ditawarkan, dan tentu saja sesuai dengan azas Islam. Melakukan segala aktifitas periklanan di semua media dengan berlandaskan bahasa visual dan verbal secara santun, tidak melanggar syariat serta moral keIslaman yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Memilih dan memilah produk maupun jasa yang digarap hanya yang diperbolehkan syariat saja.

Apa yang disebut Advertising syariah bisa diindikasikan dari sistem yang digunakan di dalam perusahaan maupun dari aqad-aqad (perjanjian-perjanjian kerjasama) dengan kliennya. Sistem yang digunakan adalah sistem musyarakah yaitu aqad kerjasama dua orang atau lebih untuk saling memberikan keuntungan secara shar’i.

Who

Pada umumnya pelaku bisnis advertising syariah (AdS) adalah orang-orang yang concern dengan ekonomi Islam yang menjunjung tinggi tujuan bisnisnya yaitu mengharap “ridho Allah” semata. Termasuk orang-orang yang sadar tentang kewajiban dakwah dengan goal setting nya “Islam Rahmatan lil’aalamiin”. Mereka adalah orang-orang yang memiliki semangat membesarkan dan memperbaiki kualitas dunia periklanan Islam modern. Bersama-sama dengan pelaku bisnis syariah maupun lembaga syariah yang lain, AdS berusaha bersinergi demi upaya meningkatkan taraf kehidupan ummat yang lebih baik, sebagai alternatif solusi jitu di tengah kehidupan ekonomi kapitalisme global.

Tapi memang tak dipungkiri, bahwa ada juga pelaku bisnis AdS yang memilih system syariah berlandaskan asas manfaat semata. Sebagai langkah pragmatis untuk meraup pangsa pasar muslim dengan orientasi profit materi.

Why

Mengapa Advertising Syariah? Jawabannya hampir setali tiga uang dengan who. Karena motivasi utama para pelaku bisnis ini adalah untuk selalu berusaha menggapai ridho Allah dalam segala aktifitasnya, tak terkecuali ketika berbisnis advertising. Prinsipnya, tidak ada celah yang tidak bisa dijalankan secara syariah. Termasuk juga advertising yang kadang dipandang secara paradoks sebagai alat kapitalisme dalam menawarkan produk maupun jasanya. Ini lantaran mekanisme promosi hampir selalu berkonsekuensi menghabiskan banyak dana, sehingga harga pokok produk menjadi mahal lantaran beban biaya promosi, sementara konsumenlah yang harus menanggungnya.

Tumbuhnya lembaga serta perusahaan berlabel ”syariah” dapat menjadi rantai penghubung lahirnya advertising syariah. Mengapa demikian? Secara alami lembaga-lembaga serta perusahaan-perusahaan berlabel syariah akan mengupayakan mencari komunikan yang dianggap memiliki core competence yang sama-sama syariah, cepat atau lambat. Saat ini brand-brand syariah yang besar memang masih menggunakan advertising agency konvensional karena dari sisi daya dukung, modal, maupun SDM nya memang masih menjanjikan. Namun dapat diyakini pada saatnya nanti ketika advertising syariah mulai menjamur dan investor mulai berani memberikan dukungannya serta seiring dengan meningkatnya kesadaran umat mengenai praktik-praktik bisnis syariah, bukan hal yang mustahil bila advertising syariah menjadi pilihan yang paling tepat sebagai wahana berpromosi.

Where

Di Indonesia lahan AdS sangat terbuka. Sesuai paparan pada point why di atas, menjamurnya perusahaan/ lembaga syariah dapat diprediksi positif sebagai pemicu awal menjamurnya AdS. Oleh karena itu,di luar Indonesia sekalipun, kesempatan bisnis AdS masih sangat terbuka mengingat pemainnya juga masih terbilang sedikit. Negeri-negeri muslim tetangga seperti sebut saja misalnya Malaysia—Brunei—tentu menjadi lahan berikutnya. Negeri-negeri kawasan Timur Tengah? Bukan tidak mungkin menjadi sasaran setelahnya. Atau bahkan muncul di kawasan Eropa sebagai penawar kejenuhan terhadap sistem pasar bebas dan ekonomi neo liberal? Siapa tahu? Insya Allah!

When

Sekaranglah waktu yang tepat untuk mulai meneriakkan semangat ”Advertising Syariah”. Bahkan sekaranglah saatnya untuk mulai ”men-syariahkan” seluruh media untuk berpromosi. Tidak harus produk-produk syariah saja yang digarap berlandaskan prinsip syariah, tetapi produk-produk lain – yang masih terkategorikan halal seperti sabun mandi kecantikan, moisturizer, shampo, untuk dipromosikan dengan prinsip ini. Toh, sudah terlalu sering dan terlalu banyak umat ini melakukan ”dosa” dengan membiarkan pornografi iklan –dengan dalih kebebasan berekspresi - terpampang dimana-mana. Belum lagi fenomena ”machiavelis” dalam praktik-praktik bisnis periklanan yang menghalalkan segala cara dan masih banyak lagi.

How

Bagaimana caranya? Secara idealita, tentu saja dengan mengajak seluruh elemen dalam advertising untuk mau membumikan syariah dalam aktifitas sehari hari, meyakini bahwa syariah bukan sekedar konsep ibadah ritual tetapi juga memiliki konsep implementatif yang aplicable dalam kehidupan. Dari segi out put,harus ada peningkatan kualitas baik dari sisi ide, komunikasi maupun eksekusinya oleh seluruh pelaku bisnis advertising - khususnya yang muslim. Hal ini didasari dari pengamatan selama ini terhadap output yang dihasilkan AdS yang masih terkesan seadanya, digarap tanpa didukung dengan ide kreatif yang mendalam sehingga terkesan asal-asalan, sehingga mengesankan pangsa pasar syariah adalah orang-orang dengan tingkat apresiasi estetis yang rendah. Menjadi tantangan bagi para pelaku bisnis AdS untuk memiliki tekad kuat, bersama membantu pertumbuhan perusahaan/lembaga syariah dengan sentuhan yang kreatif plus marketable.Termasuk juga tantangan untuk menjunjung tinggi kejujuran dalam memberikan informasi atas produk-produk halal yang dipromosikan setiap harinya, sehingga tidak menjerumuskan konsumen.

Semoga advertising syariah mampu menjadi agency dambaan umat yang persuasif tapi mendidik, sellable tapi santun, jujur dan benar, kreatif tapi shar’i.

(dimuat dalam situs www.wirausaha.com selasa 19 juni 2007)

Labels: ,

Thursday, June 14, 2007

"Sesungguhnya...
pengakuan terhadap kekurangan diri
adalah bukan suatu hal yang hina"


- anonim -

Labels: ,

Wednesday, June 13, 2007

siap-siap....

Pinasthika Festival Iklan 2007 sebentar lagi. Catet... 30 agustus s.d. 1 September 2007 di Melia Purosani Jogja. Bawana, Bhaskara, Young film director, Ad Student, KR Best Print... dan masih banyak lagi infonya disini.

Labels:

Monday, June 11, 2007

6 alasan do’a tidak dikabulkan

Ternyata tidak semua do’a bisa langsung dikabulkan Allah. Ada penghalang-penghalang yang mengakibatkan do’a tidak akan sampai (apalagi dikabulkan). Sangat masuk akal karena tidak mungkin kita memohon sesuatu tapi kontradiksi dengan hal yang kita lakukan sehari-hari.
Berikut enam poin tersebut:

Minuman, makanan dan pakaian yang haram
Tidak hanya makanan minuman yang diharamkan Allah saja (khamr, hewan dll yg haram). Tetapi bagaimana kita mendapatkan makanan minuman dan pakaian itu. Apakah dengan cara-cara yang dihalalkan Allah atau tidak. Sekecil apapun.

Tergesa-gesa (isti’jal) dalam berdoa
Berdoa yang baik dilafadzkan dengan suara yang pelan dengan nada yang rendah, memohon dengan penuh cinta kepada-Nya. Selayaknya kita merayu, memohon agar doa kita dikabulkan. Selain itu maksud isti’jal juga tidak boleh terburu-buru untuk dikabulkan. Ini penting… memohon sesuatu mesti sabar.

Meninggalkan Kewajiban
Kewajiban yang diberlakukan Allah kepada hamba-Nya begitu banyak. Di Alqur’an yang biasanya disinggung di pengajian-pengajian adalah seputar sholat, zakat, haji, bersuci dan ibadah-ibadah mahdloh lainnya. Pada kenyataannya hal-hal tersebut menyita 15% saja dalam Al Qur’an. Memang… tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi menjadi keliru ketika hal-hal yang diwajibkan lainnya seperti masalah politik, ekonomi, social, dan yang sejenisnya dimana menyita 85% yang ada dalam al Qur’an tidak pernah kita pelajari apalagi di laksanakan. Mempelajari diinul haq adalah fardlu ‘ain bagi setiap kaum muslimin. Berbeda dengan ilmu-ilmu umum yang tidak berkaitan dengan agama… adalah fardlu kifayah.

Do’a bermuatan dosa dan memutus silaturrahmi
Do’a-doa untuk memohon agar kemaksiatan yang dilakukan lancar tentu saja tidak mungkin dikabulkan. Termasuk do’a untuk mencelakakan orang lain, atau agar hubungan silaturrahim putus.

Tidak bersungguh-sungguh
Do’a yang tidak dipanjatkan dengan sungguh-sungguh atau sambil lalu, tidak akan dikabulkan Allah. Sebaliknya ketika do’a dipanjatkan dengan penuh kesungguhan maka insya Allah akan dikabulkan. Apalagi dilakukan pada sepertiga malam terakhir setelah qiamul lail sambil meneteskan air mata.

Lalai dan dikuasai hawa nafsu
Dalam kehidupan sehari-hari kadang kita lalai untuk mengingat atauberibadah pada-Nya. Serta mengutamakan hawa nafsu ketika ada perintah-perintah dari-Nya disela-sela kesibukan kita. Lebih mendahulukan hawa nafsu daripada perintah dan larangan-Nya.

Dari enam poin diatas tidak ada yang ringan (setidaknya menurut kita sekarang) tetapi insya Allah, Allah hanya memberikan yang sesuai kemampuan manusia. Semuanya atas pertimbangan bahwa manusia pasti mampu melaksanakannya. Karena yang menciptakan manusia adalah Allah, maka hanya Allahlah yang mampu mengukur bisa atau tidaknya perintah dan larangan itu dilaksanakan. Bukan dengan ukuran manusia. Semoga kita termasuk hamba yang dicintai-Nya dengan mampu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan semoga do’a-do’a kita dikabulkan Allah… cepat atau lambat, mengiringi kesuksesan kita fiddunya wal aakhirah. Amin.

(diolah dari berbagai sumber)

Labels:

mbayangin kalau rossi di ducati marlboro


Hanya membayangkan... seandainya Valentino Rossi motornya Ducati, bannya pakai Bridgestone
Maap kalau DI nya nggak alus ya... trus... masak stonner lebih tinggi ya.

Labels:

Tuesday, June 05, 2007

The Power of Brand >< Rossi is Back













Menjuarai 7 kali seri Moto GP di Mugello tentu bukan perkara mudah. Di sirkuit Mugello Italia Ahad kemaren, akhirnya Valentino Rossi sekali lagi mampu membuktikan keperkasaannya di Negara asalnya. Melaju dengan start diurutan ketiga tentu saja bukan masalah yang sulit bagi Rossi. Walaupun dalan lap2 berikutnya, Rossi terbanting di urutan 8, berikutnya… sampai pada lap 11 mampu bangkit dan menyusul seterunya Casie Stonner yang sampai detik ini masih menjadi pemimpin perolehan poin. Akhirnya… di 6 lap terakhir Rossi pada urutan pertama… mengungguli Dani Pedrosa yang memiliki laju motor lebih baik di track jalan lurus. Tampaknya kepiawaian Rossi menjadi bukti… lebih dari sekedar merek yang dibawa… lebih dari sekedar tim yang hebat… lebih dari sekedar motor yang hebat di tikungan… dan bahkan lebih dari kebesaran “brand” yang dia sandang…. Tapi bukan kehebatan Rossi yang akan kita bahas dibawah. Tetapi brand yang nempel dibaju dan motornya.


Yang namanya dunia olahraga di sistem kapitalis sekarang ini… tentu tidak mungkin terlepas dari keberadaan sebuah brand. Moto GP serie Mugello juga termasuk yang terlihat jelas wujud peperangannya. Ducati sebagai pabrikan Itali mempunyai kans yang tinggi untuk memenangkan sirkuit ini mengingat penampilan baik Casie Stonner di sirkuit2 sebelumnya. Sementara itu ada juga Alex Baros yang kali ini menduduki podium ketiga yang oleh banyak pihak dicap sudah terlalu tua untuk juara. Diumurnya yang 32 tahun ternyata terbukti mampu membawa nama Ducati sebagai salah satu brand juara. Juga ia mampu menempuh waktu tercepat dalam best laps sementara Rossi sanga juara kali ini dengan Yamaha nya hanya menduduki peringkat 10 dalam waktu tercepatnya. Menurut saya ada tiga brand utama yang naik podium kali ini. YAMAHA, HONDA, DUCATI, kemudian brand pendukung seperti Michellin, Bridgestone, Fiat, Repsol, Castrol, Alice, dll.

Dengan kemenangan ini apakah membawa korelasi positif terhadap brand image Yamaha? Tentu… kita lihat bagaimana Stonner sekarang ini menduduki puncak klasemen dan terbukti membawa penjualan Ducati meningkat 35%. Luar biasa khan? Walaupun kemenangan tidak secara langsung membawa peningkatan penjualan dengan serta merta seperti jualan “tela-tela” atau “bakso cak krebo” tetapi tentu melalui sebuah proses yang lebih panjang. Tentang biaya promosi yang begitu besar yang dikeluarkan beberapa brand diatas, tentu tidak seperti yang kita bayangkan. Barangkali contohnya seperti Ducati. Sekarang ini bisa jadi biaya promosi sudah tertutup ya… selain pemasukan dari para sponsor yang rela bayar mahal agar brand nya dipajang dimotor mesin baru 800 cc nya … termasuk Bridgestone yang menjadikan ban Ducati “nyokot” lebih baik di track basah. Apabila kita bahas mengenai penyelenggaraannya tentu banyak pemasukan lain misal dari hak tayang siaran langsungnya oleh berbagai Negara di dunia, tiket penonton, bahkan dampak kunjungan wisata nonton moto gp yang secara tidak langsung akan mengupas keindahan Italia. Itulah dunia Kapitalisme. Semuanya ujung-ujungnya adalah bisnis. Tanpa sadar kita dikelilingi brand-brand yang selalu siap menyerang mind set kita dengan mengubah pemikiran, tingkah laku kearah konsumerisme yang berlebihan tanpa kita sadari. Olahraga yang barangkali awalnya menjadi tujuan untuk rekreasi tubuh agar jasmani lebih sehat, sekarang lebih dari sekedar itu. Rossi, Stonner, Baros, Pedrosa, Hayden, dll. Adalah orang-orang yang bisa jadi sandaran kesuksesan olahraga… yang akhirnya banyak remaja yang mendambakan seperti mereka… yang tanpa sadar mereka menjadi hamba-hamba brand yang tidak bisa hidup tanpanya. Apakah ini bahaya “Lahwun Munadzomun” ala Kapitalisme?
Tidak hanya di moto gp, sepakbola, basket, tenis, bulutangkis… semuanya… bahkan sekolah, university… bisa menjadi sasaran berikutnya. Sekedar ngobrol aja… undang-undang BHP bagi kampus-kampus negeri mulai diberlakukan. Di Indonesia persis menjiplak negeri Paman Sam dalam kurikulumnya serta aturan-aturan yang berlaku. Kedepan kewajiban pendidikan lambat laun tidak diurus Negara tetapi oleh swasta termasuk pegawainya. Menjadi karyawan BHP tidak ada pegawai negeri lagi. Bisa ditebak… jurusan-jurusan yang ada nantinya yang akan laku di pasaran da yang hanya bisa diserap oleh pasar. Pendidikan akhirnya bukan menjdai “pendidikan” sebagai mendidik maupun terdidik (secara idelis) tapi menyesuaikan kebutuhan pasar karena dibalik itu siapa yang membiayai, siapa yang punya kepentingan, dan jurusan apa yang ahirnya langsung diserap dunia kerja. Wajar kalau sastra arab di UGM sekarang mulai ditutup, wajar Fakultas Agama di PT-PT agama mulai dibubarkan. Yang ada barangkali karena sekarang pasar sedang menyukai dagelannya Thukul Arwana, bisa jadi kedepannya bisa kerjasama dengan ISI membuat program studi “Dagelanologi” sambil membuang prodi sepi peminat seperti karawitan, pedalangan dll. Bayangan saya… nantinya kampus-kampus akan disponsori produk-produk yang barangkali bertentangan dengan misi pendidikannya. Seperti cerita seorang teman yang pulang studi dari Swedia. Disana kampus-kampus terpampang brand kondom terkenal adalah hal biasa. Tertera kata-kata “Gratis untuk Mahasiswa” (tentu saja dengan bahasa inggris). Naudzubilah...

Dari pembahasan diatas, tentu sebatas hal-hal yang bersifat "mubah" yang merupakan ketentuan dari sang pencipta. Apapun... selama tidak melanggarnya, maka oke-oke saja untuk dijalani termasuk sinerginya brand dengan olahraga, brand dengan kampus... silahkan. Dan yang tidak kalah pentingnya, ketika kapitalisme sudah mulai menjamah tatanan agama dan norma-norma yang ada dalam masyarakat, tentu orang-orang iklan dan orang-orang yang konsen di brand konsultan mesti menambah kehati-hatian. Jangan sampai kita akan bingung ketika ditanya di "yaumul hisab" kelak.
"Apa yang sudah kamu lakukan didunia dengan keahlianmu?"
glek.... semoga kita mampu menjawabnya....

Labels: , ,